Ceklik sambungan di bawah ini :
Sambungan 1 : http://pahoman.org/1278/cerita-rakyat-prasasti-munjul/
Sambungan 2 : http://folktalesnusantara.blogspot.com/2008/12/legenda-prasasti-munjul.html
Sambungan 3 : http://dongengceritarakyat.blogspot.com/2011/04/legenda-prasasti-munjul.html
Mengenai Saya

- KAMPUNG BETAWI ORA
- Selain untuk berbagi informasi mengenai segala hal yang berhubungan dengan betawi, ini juga adalah tempat untuk menjalin silaturahmi dan menggalang kebersamaan bagi saudara-saudara dari betawi khususnya. Terbuka juga untuk umum bila ingin memberikan saran dan komentar yang positif dan membangun. Di Kampung ini, semua orang boleh memberi saran dan kritik. Dengan syarat : harus positif dan membangun. Karena tujuan dibuatnya kampung ini yaitu untuk menambah pengetahuan tentang Betawi dan menggalang kebersamaan serta menjalin silaturahmi dengan sebanyak-banyaknya orang. Jadi, Nyo ah, kita pada rempug...
Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokaatuh,
Ini adalah halaman anak dari Kampung Betawi Ora nyeng isinya cerita-cerita nyeng ditulis ama Kampung Betawi Ora atawa tetangga-tetangga nyeng laen. Kampung Betawi Ora cumen bagi cerita, penerimaannya tergantung sodara-sodara nyeng baca. Sebelon ama se'udahnya, Kampung Betawi Ora mohon mahap sumpama ada kesalahan di isi cerita-cerita ini nyeng kali aja kagak ngenakin ati sodara-sodara nyeng baca...
makasih udah nyempetin waktu amplang-impleng ke mari.
Rabu, 07 September 2011
LEGENDA PRASASTI MUNJUL - Versi Asli
LEGENDA PRASASTI MUNJUL
Telah
diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan Cerita Rakyat Banten setelah melalui
proses penyuntingan. Ini adalah versi asli yang diikutsertakan dalam lomba
menulis cerita pendek (cerpen) sejarah Banten yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan
Propinsi Banten dalam rangka pembentukan Propinsi Banten.
Ide Cerita
: M. A. EBAN
Ditulis : MALVIN
DWIRUDA
PERAIRAN UJUNG KULON.
Sebuah perahu nelayan berpenumpang tiga orang tampak
melaju pelan membelah pantai yang berair tenang. Siang itu matahari bersinar
tak terlalu terik sehingga angin yang bertiup pun terasa tak terlalu menyengat.
“Dengan
hasil tangkapan sebanyak ini, kita bisa istirahat satu dua hari di darat”.
Salah
seorang nelayan mengungkapkan kegembiraan hatinya sambil menimang-nimang
ikan-ikan hasil tangkapan mereka, senyumnya tampak begitu cerah.
“Iya”.
Jawab kawannya yang ada di sebelahnya. “Ini kesempatanku untuk bisa lebih lama
berkumpul dengan istriku”.
“Tiap
pulang, aku merasa istriku kian cantik saja dibanding ikan apapun !” Sambut
nelayan pertama lagi. Sementara itu, sang pendayung yang berada di belakang
kedua temannya tampak menguping pembicaraan kedua temannya itu. Wajahnya tampak
begitu polos, dan dengan lugunya dia mengajukan pertanyaan menyela pembicaraan
kedua orang itu.
“Apa sih
yang kalian bicarakan ?”
Kedua temannya mendengar jelas pertanyaan dari si
pendayung, namun mereka menganggapnya sepi dan terus saja melanjutkan
pembicaraan mereka.
“Kau
tahu, aku bahkan sudah menyiapkan kuda laut !” Kata orang kedua. Dan disambut
dengan penuh minat oleh orang pertama.
“Wah ?
kau menangkapnya ? Boleh minta satu ?”
Belum sempat orang kedua menjawab pertanyaan itu, si
pendayung yang merasa tak diacuhkan, dengan tampang tak bersalah kembali
mengajukan pertanyaan.
“Apa ada
hubungannya antara ikan dengan istri kalian ?”
Pertanyaan si pendayung kali ini mendapat reaksi, bahkan lebih dari yang dia
bayangkan. Kedua temannya memandang ke arahnya sambil bersama-sama berkata-kata
dengan suara keras. “Diam kau, Perjaka !”
Kedua
temannya memandangi si pendayung dengan alis berkerut, tampaknya mereka sudah
merasa terganggu dengan pertanyaan si pendayung. Adapun halnya dengan si
pendayung sendiri, demi melihat reaksi kedua temannya yang demikian itu, dia
hanya bisa merungkut gugup sambil menggigit batang dayung. Dia hanya
berkata-kata dalam hati dengan penuh ketidakmengertian. “Kenapa mereka marah ?
Rasanya tak ada yang salah dengan perkataanku...”
Kedua
teman si pendayung lalu kembali melanjutkan perbincangan mereka dan
membelakanginya. Dengan wajah kesal si pendayung membuang muka dan mengumpat
dalam hati. “Sombong ! Mentang-mentang aku belum punya istri !”
Pantai
berpasir putih tempat mereka biasa menyandarkan perahu sudah terlihat. Perahu
mereka kini melaju menyusuri sepanjang tepian pantai sebelum akhirnya tiba di
tempat tujuan. Namun saat mereka tiba di sebuah tikungan pantai yang terlindung
oleh pepohonan lebat, muncul sebuah perahu lain dari balik tikungan itu.
Mula-mula hanya bagian depan kapal yang terlihat dan lama kelamaan terlihatlah
seluruh bagian kapal itu. Kapal itu tidak terlalu besar, namun bila dibanding
dengan perahu ketiga orang itu, ukurannya tiga kali lebih besar. Lengkap dengan
tiang layar dan empat dayung di masing-masing sisinya.
Kapal
yang muncul tiba-tiba itu seketika mengagetkan kedua temen si pendayung. Jarak
mereka terlalu dekat dan mungkin sekali akan terjadi tabrakan bila tidak segera
dibelokkan arahnya. Keduanya berseru kaget. “I-I-itu..!”
Dengan
gelagapan, mereka berteriak pada si pendayung. “Belokkan perahu! Belokkan
perahu!”
Adapun
si pendayung, kejadian tadi masih membuatnya kesal. Dengan acuh tak acuh dia
berpura-pura tak mendengar teriakan gugup temannya. Sambil memandang ke lain
arah dan memejamkan mata, dia asyik bersiul-siul. Si pendayung bermaksud hanya
ingin membalas sikap kedua temannya tadi yang tidak mengacuhkannya, namun
balasannya ini tampak terlalu berlebihan, seharusnya dia mendengar dan bisa
membedakan antara perkataan biasa dengan teriakan-teriakan gugup. Dan mungkin
bila dia melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi, sikapnya itu pasti akan
sangat disesalinya kelak.
Tabrakan
akan segera terjadi, kedua teman si pendayung sudah tak sempat lagi untuk
berteriak-teriak kepada si pendayung ataupun melakukan perbuatan lain. Bahkan
untuk menghindar dan menyelamatkan diri saja mereka sudah tak ingat. Mereka
merungkutkan badan dan menanti dengan pasrah segala yang akan terjadi. Namun di
saat-saat genting itu, kapal yang ada di depan mereka tiba-tiba membelokkan
perahunya dan tabrakan pun terhindar. Kapal itu kini melaju searah dan
berdampingan dengan perahu ketiga nelayan itu. Dan sebelum ketiga nelayan itu
menyadari, beberapa utas tali melayang dari arah kapal itu. Si pendayung masih
asyik bersiul-siul dan tak menyadari kalau seutas tali telah melayang di
dekatnya. Tali itu tiba-tiba mendarat di tubuhnya dan berputar ke arah leher.
Si pendayung terkejut dan melihat apa yang tengah menjalar di lehernya, namun
dia tak sempat berbuat apa-apa. Karena saat dia sadar dan tahu apa yang melilit
di lehernya, tali yang pada ujungnya diikatkan sebuah pemberat dari kayu itu
tiba-tiba ditarik dengan kencang ke atas. Si pendayung tercekik dan tubuhnya
terangkat mengikuti arah tarikan tali. Sementara itu, tali-tali yang lain
tampak melilit dan mengikat di beberapa bagian perahu. Perahu tertarik ke
samping dan membuat posisinya menjadi agak miring. Kedua teman si pendayung
tahu dan sadar apa yang tengah terjadi pada perahu mereka namun mereka belum
mengerti apa maksud dari semua itu. Mereka lalu memandang ke arah kapal di
samping perahu mereka dan mencari-cari kalau-kalau ada seseorang yang dapat
ditanyakan.
Pencarian
mereka segera terjawab. Di sana, di atas kapal, di bawah sorotan matahari
siang, sesosok tubuh tampak berdiri santai dan tampak tengah mengawasi mereka.
Kedua nelayan mengangkat tangan untuk menghalangi silaunya sinar matahari saat
mereka memandang ke atas ke arah kapal tempat sosok tubuh itu berada. Saat itu
terdengar sosok itu berkata-kata kepada mereka.
“Banyak
juga tangkapan kalian! Kalian pasti tengah memikirkan kesenangan sehingga tak
menyadari kehadiran kami!”
Sambil
memicingkan mata, salah satu nelayan memberanikan diri mengajukan pertanyaan.
“Siapa kalian dan mau apa?”
Sosok
itu menjawab sambil berkacak-pinggang dan menepuk dada. “Kami adalah perompak!
Dan kami senang sekali mengganggu kesenangan orang!”.
Saat itu sosok itu merendahkan diri dan memajukan
tubuhnya sehingga wajahnya kini dapat terlihat oleh para nelayan. Sosok yang
mengaku perompak itu bertubuh tinggi besar. Dia mengenakan baju sebatas pangkal
lengan, baju itu terbuka dan tak menutupi dadanya yang bidang dan berotot
dengan bulu-bulu lebat, sementara sebuah kalung besar berwarna kuning emas
tampak menggantung di depan dadanya. Di bagian bawah, dia hanya mengenakan
selembar kain sebatas pertengahan paha. Wajahnya yang ditumbuhi kumis tebal
melintang dan jenggot lebat tak terurus tampak bengis saat berkata-kata. Dengan
rambut panjang sebahu dan sebelah anting besar berwarna kuning emas juga,
dilengkapi secarik kain ikat kepala melilit keningnya dengan salah satu bagian menutup
mata sebelah kiri.
“Serahkan
milik kalian kalau ingin selamat !”
Dua
nelayan tak bisa berkata apa-apa, tapi tiba-tiba saja terdengar suara lantang
menyambut ucapan perompak itu. “Enak saja ! susah payah kami mencari ikan di
laut lalu kalian ingin memintanya begitu saja ? huu !”
Semua
mereka menoleh ke arah suara. Tampak si pendayung dengan wajah kesal memandang
ke arah perompak itu. Dia tampak terlentang dengan leher terikat tali. Dengan
geram dia menarik-narik tali itu dengan tangan dan kakinya membuat tubuhnya
yang kurus itu tertekuk sedemikian rupa dan malah jadi terlihat lucu. Perompak
itu memicingkan mata. Dia lalu membuang muka ke arah lain dengan acuhnya.
“Kalau begitu, kembalilah ke laut dan bersusah-payahlah lagi !”
Usai
berkata begitu, dengan tenang si perompak menyentakkan tali yang mengikat si
pendayung. Si pendayung kontan melotot dengan leher terjulur karena tercekik.
Tubuhnya terangkat dari perahu dan melayang ke depan lalu masuk ke dalam air.
Seorang
perompak bertubuh katai melongok dari balik dinding kapal. “Ooh ! mungkin ini
artinya “berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian, bersakit-sakit dahulu lalu
berenang mati-matian, yaaa ?!”
Sementara
itu, tanpa membuang waktu, perompak bertampang seram tadi segera memberi
perintah kepada perompak-perompak lainnya. “Ayo pindahkan ikan-ikan mereka ke
kapal kita !”
Para
perompak segera bergerak menuruti perintah itu. Seorang perompak bertubuh
jangkung dan kurus menggamit lengan si perompak bertubuh katai. “Ayo !”
Dengan
lagak angkuh, si perompak bertubuh katai mengacungkan telunjuknya di depan
wajah. “Diamlah ! kalau itu, aku sudah tahu artinya !”
Tapi
mendadak, seorang perompak yang berada di bagian belakang kapal
berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk ke satu arah. “Ketua ! lihat di sebelah
sana !”
Semua
menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh orang itu, dan di kejauhan, tampaklah
sebuah perahu yang berukuran dua kali lebih besar dari kapal itu tengah melaju
tenang berlawanan arah dengan kapal mereka. Seketika, si perompak bertampang
bengis yang dipanggil ketua itu melonjak-lonjak sambil menari kegirangan.
“Wah !
ini baru tangkapan besar !”
Perompak
katai menyilangkan tangan di depan dadanya sambil berkata angkuh. “Tak masalah
bagiku !”
Dengan
penuh semangat, si ketua memberi perintah baru kepada anak buahnya sambil
menunjuk ke arah kapal besar tadi. “Mari kita rusak kesenangan mereka !”
Seorang
perompak bertubuh gemuk menarik tali yang tadi mengikat si pendayung. “Maaf,
yah ! jangan marah ! talinya kami ambil kembali !” Dia menyentakkan tali itu
dan seketika leher si pendayung terbebas sudah dari jeratan tali itu. Sambil
berenang, si pendayung menarik nafas lega. Dia segera menuju perahunya dan
berpegangan di tepi perahu. Namun seketika itu juga, kedua temannya segera
mengambil kesempatan untuk kabur. “Cepat kita pergi !” Tanpa menunggu si
pendayung naik kembali ke perahu, mereka segera mendayung perahu itu dengan
cepat sementara yang satunya lagi mendayung dengan menggunakan kedua tangannya.
Si pendayung dengan kelabakan berteriak-teriak kepada teman-temannya. Dia
memegang tepi perahu dengan kencang saat perahu mulai melaju. Air laut
bercipratan ke wajah si pendayung. “Hoi..wbb! Naikan..wb aku..wb duluu...wwbbb
!”
Sementara
itu, di kapal besar yang berbendera dengan lambang naga, seorang pria bertubuh
agak gemuk dengan pakaian bangsawan kerajaan keluar dari bagian dalam kapal.
Saat itu seorang pria lain tampak menghampiri sambil menundukkan tubuhnya.
“Ada
apa, sang Laksamana ?” Tanya bangsawan itu. Yang ditanya menjura dulu sebelum
akhirnya menjawab. “Ada dua perahu di depan kita, sang Menteri !”
Sang
menteri meninggikan kepalanya memandang ke depan. Lalu katanya lagi. “Biarkan
saja ! Tapi bila mereka berbuat sesuatu yang mencurigakan, kau tahu apa yang
harus dilakukan !” Laksamana menjura lagi. “Hamba, sang Menteri !” Sang Menteri
mengangguk lalu memandang lagi ke depan, kemudian dia berjalan masuk kembali ke
bagian dalam kapal.
Beberapa
lama kemudian, kedua perahu saling berdekatan dan berpapasan. Para perompak
berdiri di sisi kapal mereka. Para pendayung yang berada di kapal besar
melongok ke arah mereka sambil mengangguk ramah. Salah seorang pendayung tampak
berbisik kepada temannya. “Tampang mereka aneh-aneh, yah ?” Temannya mengangguk
dan melongok pula. Sambil mengangkat tangan dengan senyum lebar, dia menyapa
para perompak itu. “Hai, para nelayan ! Apa kabar ?”
Bersambung... Segera Diperbarui Lanjutannya...
Langganan:
Postingan (Atom)